Sukreni Gadis Bali merupakan novel kedua karya Anak Agung Nyoman Pandji Tisna yang diterbitkan pertama kali tahun 1936 oleh Balai Pustaka, Jakarta,sejumlah 150 halaman. Dalam cetakan pertama novel itu tertera nama pengarang I Goesti Njoman P. Tisna, cetakan pertama diterbitkan tahun 1936, cetakan kedua tahun 1942, dan cetakan ketiga tahun 1948 tebal 84 halaman. Cetakan keempat terbit tahun 1952 dan cetakan kelima tahun 1965, tebal 150 halaman. Cetakan keenam terbit tahun 1978, cetakan ketujuh tahun 1983, Cetakan kedelapan tahun 1986, tebal 100 halaman, dan cetakan kesembilan tahun 2010. Seluruh cetakan tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Teeuw (1967 dan 1984) mengatakan bahwa Sukreni Gadis Bali yang dicetak ulang sehabis perang, hampir serupa betul dengan Ni Rawit, baik tentang isi maupun tentang susunannya. Sukreni ialah seorang gadis yang dijual oleh mak propot kepada orang yang mengejar-ngejar perempuan sehingga ia jatuh ke dalam lembah kehinaan dan akhirnya, ia melarikan diri. Anaknya kemudian menjadi seorang penjahat yang terkenal dan mengalami kematiannya secara menyedihkan karena dibunuh bapaknya yang tidak pernah mengenalnya. Dalam novel ini pun terdapat pula lukisan-lukisan yang indah tentang suasana di Bali. Tema novel ini berkaitan dengan hukum karma. Jika berbuat curang, orang itu akan dicurangi orang lain. Dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Ajip Rosidi (1982) menyatakan bahwa novel ini melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam. Seorang ibu yang hanya mementingkan keuntungan materi yang bakal diperolehnya secara tidak sadar telah menjual anak gadisnya sendiri. Kemalangan ini merupakan hukum karma terhadap tingkah lakunya pada masa yang lampau. Dalam novel ini pun terdapat kritikan pengarangnya yang tidak setuju kepada beberapa cara dan kepercayaan yang ketika itu masih hidup dalam masyarakat Bali. Pandji Tisna memang terkenal sebagai putra Bali yang mempunyai cita-cita hendak mengubah keadaan masyarakat Bali yang terbelakang dan menyedihkan. Dalam Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia, Yandianto (1998) menyatakan bahwa novel ini membicarakan soal karma dari kejadian baik dan buruk. Jakob Sumardjo (1991) menyatakan bahwa Sukreni Gadis Bali memperlihatkan warna daerah yang menyatu dengan permasalahan yang digarapnya. Latar Bali dipergunakan secara integral dengan tema novelnya. Secara sosiologis, novel ini amat menarik karena memberikan gambaran kehidupan masyarakat Bali sekitar tahun 1930-an antara lain mengenai status orang Bali. Pada tahun 1954 Pandji Tisna dan anaknya membuat film Sukreni Gadis Bali. Menurut Pandji Tisna, film itu banyak disensor orang-orang pusat. Orang-orang yang berada di sekitar Gubernur Sutedja waktu itu berusaha keras agar film itu dilarang. Penonton tidak dapat menikmati film itu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Pandji Tisna. Dalam novel ini kenyataan tersebut tersurat dalam perbuatan Men Negara yang memperkosa Ni Luh Sukreni, anaknya kandungnya. Selain itu, akibat perbuatannya itu harta bendanya hangus terbakar. Tokoh lain yang mendapat hukum karma adalah I Gusti Made Tusan. Karena ketidaktahuannya, ia membunuh I Gustam, anak kandungnya, hasil kejahatannya memperkosa Ni Luh Sukreni. Jadi, siasat busuk Men Negara mendapat hukum karma dengan diperkosanya Ni Luh Sukreni (anaknya sendiri) oleh Mantri Polisi I Gusti Made Tusan. Kemudian, perbuatan jahat I Gusti Made Tusan yang memperkosa Ni Luh Sukreni, mendapat hukum karma dengan terbunuhnya I Gusti Made Tusan, oleh parang I Gustam, anaknya, yang tidak diketahuinya. Demikian juga halnya dengan I Gustam. Ia mati di tangan ayah kandungnya (Tusan) karena merampok. Dalam novel ini yang diceritakan bukan hanya Ni Luh Sukreni. Jadi, bukan ia yang menjadi tokoh utamanya, melainkan Men Negara. Ni Luh Sukreni baru muncul pada pertengahan cerita dan sangat sedikit diceritakan. Di samping itu, ia tidak langsung terlibat dalam berbagai masalah yang terungkap dalam cerita.
Produk berupa Ebook
Format file PDF
Harga Rp.2.000
Komentar
Posting Komentar